anda adalah pengunjung no


Senin, 21 Januari 2008

bingung



Proses Hukum Pelaku G 30 S/PKI



Judul: Teperpu Mengungkap Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses Hukum Bagi Para Pelakunya

Penyusun: Aco Manafe

Tebal: xi + 225 halaman

Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, 2007

Masih saja tulisan tentang peristiwa G 30 S/PKI digulirkan, termasuk buku ini. Beragam versi pendapat telah diterbitkan dan beredar luas. Namun dari berbagai buku tersebut masih jarang atau boleh dikatakan tidak secara spesifik menguraikan proses penyidikan, penahanan dan pengadilan tokoh-tokoh PKI dan pelaku pemberontakan G 30 S/PKI yang dibentuk pemerintah melalui Team Pemeriksa Pusat (Teperpu) dan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Pemberontakan PKI dalam sejarah Indonesia yang terkenal dengan nama Gerakan 30 September 1965 (G 30S/PKI) merupakan suatu fenomena besar yang membuat noda hitam dalam sejarah Indonesia. Pemberontakan yang dipimpin Dipo Nusantara Aidit bersama Biro Khusus CC PKI ini untuk menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara kekerasan, menculik dan membunuh para jenderal pimpinan TNI AD dan beberapa perwira lainnya. Bahkan rencana pemberontakan 30 September itu dirancang tidak hanya di Jakarta, karena diam-diam diperluas ke daerah-daerah lain di kota-kota besar dan provinsi di Pulau Jawa, Bali dan sebagian Sumatera.

Buku yang ditulis Aco Manafe ini tidak hanya bertumpu pada pemberontakan-pemberontakan itu sendiri, melainkan menitikberatkan pada proses hukumnya sendiri, mulai dari penyelidikan, penahanan hingga ke proses hukum di pengadilan dan penjatuhan vonis atau eksekusi atas tokoh-tokoh PKI dan para pelaku pemberontakan.

Dengan demikian, segala informasi dan kesaksian para tokoh komunis maupun sebagian perwira TNI yang berhasil dibina untuk menjadi komunis atau membantu PKI, dapat dijadikan informasi yang semakin memperkaya khasanah informasi mengenai gerakan komunis.

Selain wawancara dengan tokoh-tokoh PKI yang dilakukan tanpa direkam atau disalin dalam BAP, buku ini juga memuat testimoni atau kesaksian hukum bekas ajudan Presiden Soekarno, Kolonel KKO Bambang Setyono Widjanarko, baik sebagai saksi sejarah G 30S/PKI maupun sebagai salah seorang ajudan presiden. Kesaksian ini cukup menarik, karena terdapat benang merah sikap Bung Karno yang pro PKI, bahkan setuju atas penindakan sejumlah jenderal TNI AD yang disebut sebagai para perwira yang tidak loyal. Meskipun diakui bahwa dalam kesaksian Bambang ada kekurangan akurasi dalam soal waktu, jam, nama dan jabatan sebagai pelaku. Ini bisa terjadi, karena jarak waktu kejadian antara Peristiwa G 30S/PKI dan waktu kesaksian yang diberikan sekitar 5 tahun.

Tentu data-data tersebut harus diuji secara terus-menerus, agar kebenaran sejatinya dapat menjadi saksi sejarah yang objektif.


Pejabat Penting

Para pelaku pemberontakan G 30 S PKI yang ditangkap pertama dalam operasi RPKAD, yakni pasukan PKI yang menduduki Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi Gambir. Mulanya mereka diserahkan ke Kostrad. Panglima Kostrad yang dijabat oleh Jenderal Suharto waktu itu lalu menyerahkan mereka ke kantor CPM, dan meminta Direktur CPM untuk memeriksa mereka.

Diperkirakan antara 300.000 sampai 1 juta orang PKI ditangkap. Yang ditangkap dan ditahan bukan saja orang-orang komunis, namun juga para pejabat penting yang mengeruhkan suasana seperti Waperdam I dr Subandrio, Waperdam II Chaerul Saleh dan sejumlah menteri lainnya pun ditahan.

Sementara tokoh PKI yang pertama ditangkap adalah Nyono dari CC PKI. Sedangkan Ketua CC PKI DN Aidit sendiri ditangkap dalam suatu operasi militer di Solo saat bersembunyi di rumah seorang anggota PKI. Tokoh utama dan perencana serta pelaksana kudeta ini kmudian bersedia menulis semua kesaksiannya tentang G 30S/PKI yang dipimpinnya.

Setelah menulis dan diperiksa oleh para penangkap dan penyidik, Aidit juga bersedia menandatangani berkas acara pemeriksaan tersebut. Hal ini berarti DN Aidit diperlakukan sesuai dengan aturan hukum pemeriksaan dan penyidikan seperti biasanya, dan diberi kebebasan penuh untuk memberikan kesaksian. Padahal di tangannya terjadi tragedi berdarah akibat kudeta PKI.

Menurut CPM Sujono, perwira Teperpu yang terakhir berpangkat kolonel, pada waktu itu Teperpu belum mengadakan klarifikasi tokoh dan sebagainya. Pokoknya ada yang menyerah atau terjaring operasi, mereka langsung diperiksa. Dan yang diusut itu bukan aspek politiknya, tetapi apa saja kegiatan mereka berkaitan dengan pemberontakan itu. Dari hasil pemeriksaan diketahui, bahwa mereka pemuda rakyat dan sebagian pernah dilatih di Lubang Buaya. [Shendy Aulia S, pencinta buku]

sumber : http://www.suarapembaruan.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------
DUGAAN SEMENTARA...!
SUHARTO TUNGGANGI G-30-S PKI

ISTIQLAL (5/03/2000)# G.30-S MENUNGGANGI SUKARNO, SUHARTO MENUNGGANGI G.3O-S

Oleh Alam Tulus

Setelah Presiden Gus Dur meminta maaf atas terbunuhnya orang-orang
yang disangka komunis dan di antara pembunuhnya terdapat orang-orang NU
maka Gus Dur juga meminta supaya masalah G.30-S diusut kembali.
Sutomo Martopradoto, mantan Menteri Perburuhan periode Agustus 1964-April
1966 menjawab pertanyaan wartawan mengatakan kelompok komunis itu merasa
cemas dengan sakitnya Bung Karno. Kalau Sukarno wafat, mereka akan dihabisi.
Karena itu Aidit cs tergiur melakukan kup, dibantu oleh Syam.
Dari jawaban Sutomo yang singkat itu cukup jelas, bahwa Sutomo
berkecenderungan untuk menyatakan G.30-S itu adalah kudeta Aidit sesuai
dengan apa yang dituduhkan Suharto selama ini. Benarkah G.30-S itu kudeta
atau pemberontakan yang dilancarkan PKI untuk menggulingkan Presiden Sukarno
atau sebaliknya justru G.30-S itu telah digunakan Suharto untuk
menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya?

TUDUHAN SUHARTO: G.30-S PKI
Seperti diketahui dini hari 1 Oktober 1965, G.30-S melancarkan
operasi militernya, "dengan alasan untuk menggagalkan rencana kudeta dari
Dewan Jenderal terhadap Presiden Sukarno.
Menurut Yoga Sugama (Memori Jenderal Yoga, hal 148) pada pagi l
Oktober 1965, dirinyalah yang pertama tama tiba di Kostrad. Setelah Ali
Murtopo datang, maka kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang
melancarkan gerakan penculikan dini hari tsb adalah anasir PKI. Ali Murtopo
tidak begitu saja mau mempercayai keterangan Yoga Sugama.
Setelah ada siaran RRI jam 7.20 ( pagi), yang mengatakan telah
terbentuk Dewan Revolusi, dengan diketahui oleh Letkol Untung, maka Yoga
Sugama segera memperkuat kesimpulannya di atas. Sebab menurut Yoga Sugama ia
kenal Untung sebagai perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah
menjadi anak buahnya ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.
Jenderal Suharto yang datangnya di Kostrad belakangan dari Yoga
Sugama, juga bertanya pada Yoga Sugama: "Apa kira-kira Presiden Sukarno
terlibat dalam gerakan ini?" Yoga Sugama dengan tegas menjawab:" Ya ".
Tuduhan Yoga Sugama bahwa di belakang gerakan ini anasir PKI serta presoden
Sukarno terlibat di dalamnya, tampaknya menjadi pegangan Suharto.
Pada jam 9.00 (pagi) Jenderal Suharto memberikan briefing di
Kostrad. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak mengenal Untung sejak
dulu. Dan Untung sendiri sejak tahun 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Pak
Alimin".
Suharto bohong. Sebab, Pak Alimin baru kembali di Indonesia
pertengahan tahun 1946. Bagaimana mungkin Pak Alimin mendidik Untung sejak
tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di Tiongkok daratan?
Hal ini dapat diketahui dengan membaca majalah Bintang Merah Agustus 1946
yang terbit di Solo. Di sana dimuat wawancara Pak Alimin yang dilakukan
Redaksi Bintang Merah dengan Pak Alimin sekitar kepulangannya ke Indonesia.
Faktor Untung yang memimpin G.30-S itulah yang digunakan Suharto
untuk memastikan PKI-lah yang menjadi dalang G.3O-S. Apalagi setelah
Editorial Harian Rakyat (2 Okt 1965) mengatakan bahwa, "G.30-S adalah
persoalan intern angkatan darat dan HR mendukung gerakan perwira-perwira
yang maju". Mendukung tidak sama dengan memimpin atau mendalangi. Peranan
pendukung hanya di pinggir.
Adalah suatu hal yang tidak mungkin PKI akan melakukan pemberontakan
atau melakukan kudeta terhadap presidan Sukarno. Melakukan kudeta atau
pemberontakan terhadap Presiden Sukarno adalah bertentangan dengan garis
Nasional ke-V PKI di tahun 1954, yang menetapkan untuk mencapai tujuan
Demokrasi Rakyat, PKI akan menempuh jalan demokratis dan parlementer, bukan
pemberontakan bersenjata.
Suatu hal yang tidak masuk akal PKI akan melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan presiden Sukarno, karena pemerintahan Presiden Sukarno
itu menguntungkan posisi PKI.
Bila G.30-S pemberontakan PKI, artinya pemberontakan itu terjadi 1
Oktober 1965, maka Nyoto, orang ketiga PKI yang hadir dalam sidang Kabinet 6
Oktober 1965 di Bogor, mengapa tidak ditangkap?
Karena Presiden Sukarno tidak pernah merasa diberontaki PKI, maka
sampai akhir hayatnya Presiden Sukarno tidak mau membubarkan PKI.
Juga Brigjen Supardjo bukannya melapor kepada: Aidit di Halim 1 Okt
1965, melainkan melapor kepada Presiden Sukarno. Kalau PKI yang mendalangi
G.30-S, atau melakukan pemberontakan, tentu BrigJen Supardjo akan melapor
kepada Aidit, bukan pada presiden Sukarno.

GESTOK
Berbeda dengan yang lain, Presiden Sukarno menamakan gerakan 30
September itu ialah GESTOK (Gerakan 1 Oktober). Mengapa Presiden Sukarno
menamakan nya GESToK?
Menurut Solichin Salam (Bung Karno Putra fajar, Solichin Salam, hal
278) melalui bukunya "Bung Karno Putra Fajar" (1984) bahwa dirinya
mengajukan pertanyaan kepada Presiden Sukarno sbb: "Di dalam masyarakat
timbul dua perbedaan pengertian mengenai nama "Gestapu" dan Gestok. Kalau
gestapu itu adalah gerakannya Letkol Untung yang didalangi serta disokong
PKI. Kalau Gestok itu ialah gerakan jenderal." Atas pertanyaan ini, Bung
Karno menjelaskan sbb:
"Nama "Gestapu " itu siapa yang memberikannya?" (Pertanyaan Presiden
tsb dijawab penulis: Brigjen RH Sugandhi. Presiden bertanya kembali: "Dari
mana penulis tahu?". Beliau sendiri yang mengatakan kepada saya." Sesudah
ini baru Presiden menjelaskan bahwa:
"Kalau PKI sendiri mengatakan gerakan tsb bukan Gestapu, akan tetapi
"Getipus" (Gerakan 30 September). Adapun saya memberikan nama Gestok itu,
karena gerakan G.30-S itu dilaksanakannya tidak pada hari 30 September 1965,
melainkan sesudah masuk tanggal 1 Oktober 1965. Disamping itu singkatan
Gestapu itu dipakai dengan maksud untuk mengindentikan dengan Gestaponya
Hitler. Itulah sebabnya saya memakai nama "Gestok".
Pada tanggal 1 Oktober itu juga Jenderal Suharto tanpa sepengetahuan
Presiden Sukarno, apalagi persetujuan, telah mengangkat dirinya menjadi
pimpinan Angkatan Darat. Padahal jabatan panglima suatu angkatan, adalah hak
prerogatif Presiden menentukan siapa yang akan memangkunya. Jabatan panglima
adalah jabatan politik.
Pada 1 Oktober 1965 itu juga, Suharto memberi "4 petunjuk" kepada
Presiden Sukarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko. Jadi, pada 1
Oktober itu bukan Presiden Sukarno lagi yang memberi petunjuk apa yang harus
dikerjakan Suharto sebagai bawahannya, melainkan Suharto yang mengatur apa
yang harus dikerjakan Presiden Sukarno. Itu artinya kekuasaan secara de
facto sudah berada di tangan Suharto. Empat petunjuk (AM Hanafi Menggugat,
Kudeta Jenderal Suharto dari Gestapu ke Supersemar, hal 262) Suharto tsb, sbb;
1. Mayjen Pranoto Rekso Samudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah
tidak dapat menghadap Presiden Sukarno untuk tidak menambah korban. (Artinya
jika jenderal Pranoto dan Umar Wirahadikusumah ke Halim, tentu akan dibunuh
pula, seperti jenderal-jenderal yang telah dibunuh pagi hari itu. Petunjuk
ini mengandung tuduhan bahwa Presiden Sukarno yang bertanggungjawab atas
terbunuhnya Jenderal Yani cs dini hari 1 Oktober 1965, pen).
2. Mayjen Suharto untuk sementara telah mengambil over pimpinan TNI
AD berdasarkan Perintah tetap Men/Pangad (Perintah tetap yang dimaksud ialah
konsensus yang berlaku di kalangan TNI-AD, jika Pangad berhalangan, Panglima
Kostrad otomatis penggantinya. Hak prerogatif Presiden dikesampingkannya
saja. Atau dinilainya kedudukan konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak
prerogatif Presiden, pen).
3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Sukarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen Suharto. (Petunjuk 3 ini berarti Mayjen Suharto
yang mengatur apa yang harus dikerjakan Presiden Sukarno dan bukan
sebaliknya, meskipun diselimuti dengan kata-kata "diharapkan". Seharusnya
Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI yang mengatur apa yang harus dilakukan
Suharto, pen).
4. Mayjen Suharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Sukarno keluar dari Pangkalan
Udara HP, karena pasukan yang berada di bawah komando Kostrad akan
membersihkan pasukan-pasukan pendukung G.3O-S yang berada di Pangkalan Udara
HP sebelum tengah malam 1 Oktober 1965 (Petunjuk 4 ini berarti Mayjen
Suharto memerintahkan Presiden Sukarno meninggalkan Pangkalan Udara HP
sebelum tengah malam, karena Halim akan diserang. Padahal sebelumnya
Presiden Sukarno telah mengeluarkan perintah lisan kepada Brigjen Supardjo
untuk menghentikan operasi militer G.3O-S dan jangan bergerak tanpa
komandonya. Ketaatan pasukan G.30-S atas perintah lisan Presiden Sukarno,
dimanfaatkan Suharto untuk "memukul" pasukan G.30-S, pen) (G.30-S
Pemberontakan PKI, hal 146-147 ).
Setelah melalui kekuasaan secara de facto, maka kemudian Suharto
meningkatkannya menjadi kekuasaan secara de jure melalui dimanipulasinya
Supersemar sebagai pelimpahan kekuasaan, padahal hanya tugas pengamanan.

BUKAN AIDIT DAN PKI
AM Hanafi melalui bukunya "AM Hanafi menggugat" mengemumakan
kesimpulannya bahwa G.30-S menunggangi Sukarno dan Suharto menunggangi
G.30-S. Lebih jelasnya sbb:
"Kalau sungguh-sungguh mau menemukan dari mana sumber kesalahan
paling pokok, yang menimbulkan malapetaka, yang "dimahkotai" oleh kemenangan
coup d'etat Suharto, dengan penyembelihan sejuta lebih rakyat yang tidak
berdosa itu, saya berpendapat pertama-tama bukanlah harus dicari pada
Sukarno, juga bukan kepada Aidit dan PKI, tetapi terhadap mereka yang telah
melacurkan diri kepada Amerika. Mereka itulah yang mengacau dengan
menjalin-jalin jerat provokasi: Dengan apa yang disebut Gerakan Tigapuluh
September (Gestapu). Dari situlah Suharto mulai menggunakan Gestapu itu
sebagai kuda tunggangannya untuk mencapai puncak kekuasaan, kemudian
merestorasi neo kolonialisme di Indonesia seperti yang dialami sekarang.
Tapi jelas, Gestapu itu bukan PKI dan PKI bukan Gestapu!!! Gestapu
menunggangi Sukarno, Suharto menunggangi Gestapu. Kesimpulan AM Hanafi ini
sesuai dengan fakta-fakta sbb:
1). G.30-S menunggangi Sukarno:
a. Atas nama hendak menggagalkan rencana Kudeta Dewan
Jenderal terhadap Presiden Sukarno, G.30-S melancarkan
operasi militernya pada dini hari 1 Oktober 1965.
b. Untuk keperluan operasi tsb, G.30-S menggunakan pasukan
pengawal Presiden Sukarno, Cakrabirawa.
2). Suharto menunggangi G.30 S:
a. Brigjen Supardjo dan Letkol Untung meminta Kolonel Latief
pada tanggal 30 September 1965 untuk menyampaikan kepada
Jenderal Suharto, rencana pengambilan 7 jenderal pada dini
hari 1 Oktober 1965. Dengan adanya laporan itu, maka Suharto
dapat mempersiapkan diri apa yang harus dikerjakannya supaya
dapat berkuasa.
b. Pada tanggal 30 September malam itu yang tidak diawasi oleh
pasukan G.30-S hanya sisi markas Kostrad, sedang daerah lain
di Merdeka Selatan diawasi. Dengan tidak diawasinya sisi
markas Kostrad maka memberi keleluasaan bagi Suharto untuk
menggunakan markasnya sebagai pangkalan untuk berkuasa. Ini
merupakan indikasi ada hubungan kerjasama antara G.30-S dengan
Panglima Kostrad.
c. Buat memberi dalih bagi Suharto bertindak (menuduh G.30-S
melakukan kudeta) maka Untung mengumumkan terbentuknya Dewan
Revolusi dan pendemisioneran kabinet Sukarno. Padahal
kenyataannya, kabinet tidak pernah demisioner. Dibuktikan,
dengan melapornya brigjen Supardjo kepada presiden Sukarno di
Halim pada 1 Oktober 1965 padahal Presiden Sukarno bukan
anggota Dewan Revolusi.
d. Dengan dilancarkannya operasi G.30-S dini hari 1 Oktober 1965,
terbuka jalan bagi Suharto untuk mengangkat dirinya menjadi
pimpinan TNI-AD tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan
Presiden/Pangti Sukarno.

Terang kiranya, benar seperti yang dikatakan Sunardi SH dalam pidato
pembelaannya bahwa coup d'etat G.30-S yang dikatakan gagal, justru berhasil
dengan baik, sesuai dengan rencana lebih dulu, telah diatur dan
diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhan kekuasan Sukarno sebagai
pemegang pemerintahan yang sah.
Seperti diketahui Sunardi SH pada tanggal 10 Desember 1981 telah
mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi, termasuk Presiden
Suharto isinya menuduh Presiden Suharto terlibat G.30-S. Sunardi SH
ditangkap dan diadili oleh pengadilan negeri 7 Oktober 1982, dituntut
hukuman 4 tahun 6 bulan, potong masa tahanan.
Apa yang digatakan sebagai analisa oleh Sutomo Martopradoto bahwa
Aidit tergiur melakukan kup terhadap Presiden Sukarno, hanyalah sebuah
dugaan belaka, bukan analisa. Bila analisa, tentu Sutomo tidak akan
menyimpulkan demikian, karena ia tahu bahwa pemerintahan Sukarno
menguntungkan posisi PKI. Hak hidup PKI terjamin. Apalagi Aidit telah muncul
dengan teori dua aspek dalam kekuasaan Sukarno, yaitu aspek pro rakyat yang
dipimpin Sukarno dan aspek anti rakyat yang dikepalai Nasution. Yang
mungkin, Aidit akan membantu memperkuat posisi aspek pro rakyat dari
Sukarno, untuk melumpuhkan kekuatan aspek anti rakyat dari Nasution. Dan
bantuan Aidit dan PKI untuk memperkuat posisi pemerintahan Sukarno,
senantiasa diberikan. Dan hal itu diketahui oleh pihak reaksi.
Karena itulah maka untuk menjatuhkan Presiden Sukarno, kekuatan PKI
harus dilumpuhkan lebih dulu. PKI dijadikan sasaran tembak pertama, untuk
memudahkan menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya. Ya, G.30-S
menunggangi Sukarno dan Suharto menunggangi G.30-S. ***

SUMBER : www.munindo.brd.de

Tidak ada komentar:

my name is

my name is